Kedudukan Hadits Dalam Islam

Oleh : Aldo Bagus Sadana

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Qur-an kepada Rasul-Nya Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan beliau diberikan hak dan wewenang untuk menjelaskan Al-Qur-an, sehingga manusia mendapat petunjuk ke jalan yang lurus dengan Al-Qura’an dan As Sunnah. Tidak ada jalan yang benar melainkan jalan Al-Qur’an dan Al-Hadits menurut pemahaman Salafush Shalih, mengamalkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, menyeru umat Islam untuk berpegang kepada keduanya, komitmen, dan konsisten di atas keduanya.

Generasi awal kaum muslimin telah sepakat, bahwa sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah rujukan kedua dalam syari’at Islam. Mereka sepakat bahwa sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah rujukan kedua dalam masalah aqidah, hukum-hukum fikih, siyasah (politik), dan pendidikan.

Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang muslim menyelisihinya sunnah Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- hanya karena mengikuti pendapat seseorang atau qiyas, sebagaimana perkataan imam asy-Syafi’i –semoga Allah merahmatinya– di akhir kitabar-Risalah, Tidak halal menggunakan qiyas (analogi), padahal ada dalil (nash)”.

Dan serupa dengan perkataan beliau adalah apa yang telah dikenal di kalangan ulama masa kini dari kalangan ulama pakar ushul, ”Apabila ada atsar (hadits) maka batallah qiyas”, atau perkataan mereka, “Tidak ada (tidak boleh) ijtihad kalau ada nash”.

Definisi hadits

Hadits adalah semua yang warid (datang) dari Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam– baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan (diamnya Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam– dari perbuatan yang terjadi di hadapannya) dan sifat (postur tubuh/perilaku Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam-).

Contoh hadits perkataan:

Dari Umar bin Khaththab –radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya, barangsiapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia yang ingin dicapainya atau untuk wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia niatkan.”

 

Contoh hadits perbuatan:

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman -radhiyallaahu anhuma-, ia berkata, “Dahulu Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- apabila bangun malam untuk shalat, beliau menggosok giginya dengan siwak.”

 

Contoh hadits persetujuan:

Dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallaahu ‘anhuma- berkata, “Bibiku Ummu Hufaid pernah memberi hadiah kepada Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- berupa mentega, keju dan daging dhabb (sejenis biawak). Beliau makan keju dan menteganya, dan beliau meninggalkan daging biawak karena merasa jijik, kemudian makanan yang dihidangkan kepada Rasulullah -shallallâhu ‘alaihi wa sallam- dimakan (oleh para shahabat). Jika (dhabb itu) haram, niscaya kami tidak akan makan hidangan Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.”

Kewajiban berhukum dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan as-Sunnah, saya mencukupkan di sini dengan menyebutkan sebagian ayat saja sebagai bentuk pengingat, karena sesungguhnya peringatan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Hujurat: 1)

Katakanlah:’Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir’.” (QS. Ali Imron:32)

” Dan Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka.” (QS.An-Nisaa’:79-80)

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.An Nisaa’: 59)

Menaati Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam– sepeninggal beliau –shalallahu ‘alaihi wa sallam– adalah dengan mengikuti hadits-hadits beliau –shalallahu ‘alaihi wa sallam-.  (Aldo Bagus Sadana)

Referensi: Wujubur Ruju’ Ilas Sunnah wa Tahrimi Mukhalafatiha oleh Syeikh Muhammad Nashirudin Al Al Bani dan Syarhu Al Mandzumah Al Baiquniyah oleh Muhammad Ibrahim Al Jazairi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *